Tak Pernah Ambil Gaji, Rela Jadi Pengepul Rongsokan Demi Naik Haji
SELAMA dua tahun bertugas sebagai Kapolsek Bojonggenteng, Iptu Dedi
Supriatna tidak pernah mengambil gajinya sebesar Rp 5,6 juta/bulan itu.
Justru ia lebih memilih menjadi supir pengangkut daging kerbau hingga
menjadi pengepul barang rongsokan untuk menutupi kebutuhan hidup
keluarganya. Usaha ini dilakukan karena Dedi berniat kelak bersama
istrinya agar bisa naik haji.
Terlihat raut wajah yang biasa saja bak seorang petani atau bahkan
memang seorang pengepul rongsokan. Dengan mengenakan celana sontok dan
kaos putih, perwira berpangkat dua balok emas di pundaknya itu tak
terlihat sebagai seorang polisi.
Dengan obsesinya agar bisa naik haji, Dedi tak merasa minder bergaul dengan barang-barang bekas yang dikumpulkannya.
Tak jauh dari kantornya ia bekerja, terlihat tumpukan botol-botol bekas.
Mulai bahan plastik, kaleng dan kardus ia kumpulkan di atas mobil bak
terbuka dari para pemulung dan pengelola Gedung Olah Raga (GOR) di
wilayahnya. Diantaranya, botol bekas dari aqua, dua tang, total, pocari
sweat dan sejenisnya.
Rupanya, usaha yang ia kembangkan itu untuk menghadapi masa pensiunnya yang kurang dari satu bulan lagi.
"Saya harus mempersiapkan masa pensiun saya. Karena di sini ada peluang
untuk mengumpulkan barang bekas, kenapa tidak saya jadi pengepul. Karena
menjadi seorang pengepul tidak akan menurunkan martabat atau pangkat
dan jabatan saya sebagai kapolsek. Yang penting tugas saya sebagai
anggota polri bisa dilaksanakan dan tidak keluar dari koridor atau
ketentuan yang berlaku," kata pria kelahiran Bandung, 4 Januari 1956,
itu dengan wajah optimis.
Usaha menjadi pengepulnya itu ia lakoni berawal dari hobinya sebagai
pebulutangkis. Melihat botol-botol bekas berserakan, selepas berolahraga
ia pun berkomunikasi dengan pengelola GOR agar botol tersebut
dikumpulkan dan dijanjikan akan dibelinya.
Tidak muluk-muluk, botol-botol yang dikumpulkan itu ia bayar seharga Rp 3
ribu/kilogram. Dedi pun menjualnya ke bandar rongsokan dengan harga rp 5
ribu/kilo gram. Untuk mendapatkan laba Rp 2 ribu/kilo gram, Dedi harus
memilah-milah dulu barang-barang tersebut. Bahkan, untuk kaleng pocari
sweat, ia gepengkan terlebih dahulu agar menjadi padat.
Meski menjadi pengepul rongsokan, Dedi selalu mengutamakan kerjaannya
sebagai Kapolsek Bojonggenteng. Terlebih, kultur masyarakan
Bojonggenteng sangat dominan dengan organisasi masyarakat (ormas). Jika
tidak paham dan minim kepedulian terhadap ormas-ormas itu, jelas akan
menjadi bulan-bulanan petugas pengamanan.
"Menjadi Kapolsek dimana pun terlebih di Bojonggenteng harus bisa
memahami dan jangan pernah membeda-bedakan masyarakat. Harus dekat
dengan tokoh masyarakat dan harus rajin berkomunikasi dengan
masyarakat," imbuhnya.
Meski bukan keturunan pengusaha, putra kedua Pembina Akabri Sukabumi
Almarhum Iptu Sukimin itu juga pernah menjadi sopir pengangkut daging
kerbau.
Sejak 2003 hingga 2008 silam, saat bertugas sebagai Koordinator Binmas
Polsek Cicurug ia kerap menjadi sopir pengangkut daging kerau dari
Bojongkokosan. Upahnya pun dibayar perekor, Rp 75 ribu/ekor kala itu. ia
mengangkut hingga ke Pasar Cucurug, Pasar Bogor dan Pasar Cilueur.
"Saya mengirimkan daging di malam hari, agar tidak menganggu tugas saya
sebagai polisi. Sekarang pun kerjaan ini (pengepul barang bekas) banyak
saya lakukan di malam hari. Sedangkan untuk siang saya lakukan kalau
memang waktunya senggang dan tidak ada tugas ke mana-mana," tambahnya.
Bukan dari pemulung saja barang itu ia dapatkan, dari Pabrik Total pun
bapak dari anggota Polresta Bogor, Brigadir Fenita itu mendapatkan
giliran menjadi pembeli. Ia juga berharap, di kala pensiun nanti, tidak
ada beban dan utang kepada orang lain.
Mobil bak terbuka grand max miliknya itu sudah lunas dicicil termasuk
hasil dari menjual barang bekas itu. Bahkan, jika tugasnya selesai
nanti, ia berharap ada ide lain yang menghampirinya.
"Mungkin membuat kerajinan dari barang bekas itu. Tapi lihat saja nanti.
Sekarang saya nikmati saja usaha sampingan saya sebagai pengepul barang
bekas. Daripada memeras atau merugikan orang lebih baik berdikari
mencari uang halal. Meski hanya Rp 200 ribu-400 ribu/minggu setiap kali
kirim, tetapi hasilnya halal dan berkah," ucapnya.
Bahkan, dari hasil menjual rongsokan itu, ia berikan kepada istrinya
untuk mengantikan gaji pokok yang tidak diambilnya selama menjadi
Kapolsek. Masih di tahun 2013 lalu, Dedi dan istinya baru saja pulang
dari tanah suci Makkah untuk ibadah umroh.
Dari kegiatannya itu, ada pengusaha Palet Mujahid dan putranya, Masbing,
yang keduanya sudah haji melirik kegigihan sang kapolsek untuk tetap
berkarya di sela-sela menjalankan tugasnya. Niatnya untuk berakat ibadah
haji pun sudah didaftarkannya. Hanya saja, pendaftarannya itu belum
lunas alias masih punya utang.(*)
No comments:
Post a Comment