Jumpa lagi sobat, kali ini mari kita coba bahas tentang TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang kini telah berubah menjadi (Tenaga Kerja Innalillahi). Apa alasan mereka meninggalkan negeri ini untuk mengadu nasib di negeri orang? Ya pahlawan devisa Indonesia ini sungguh menarik untuk diulas sepak terjangnya mulai dari desa sampai di Arab nun jauh di sana, yuk langsung saja kita lihat bahasannya.
Kepanjangan TKI di atas bukan tanpa sebab, tetapi karena banyaknya nyawa TKI kita yang melayang di negeri orang. Tetapi mari kita lihat sebenarnya penyebabnya apa sih sampai terjadi hal-hal seperti itu? Salah satunya adalah karena para TKI tersebut tidak dibekali dengan kemampuan individu dan skill yang memadai untuk bekerja di negeri orang, saya yakin tidak ada yang menolak statement ini kan? tetapi menurut saya penyebab utama adalah karena terlalu “Waras” nya penyalur para TKI ke luar negeri. Mereka (para penyalur) sudah mengetahui dengan jelas bahwa para TKI tersebut saja tidak layak untuk bekerja di dalam negeri, eh malah “nekat” dikirim ke luar negeri, sungguh aneh…
Pertanyaannya ialah kenapa harus ke luar negeri? sedangkan di kota-kota besar di Tanah Air saja masih banyak yang membutuhkan pekerja pembantu rumah tangga. Apa karena banyak nilai plus nya? plus hamil, plus bonyok, plus kulit sobek, plus gigi rompal
. Jika menilik dari sejarah motivasi mereka bekerja di luar negeri tentu banyak dikarenakan alasan kesulitan ekonomi. Padahal rata-rata mereka yang bekerja menjadi TKI adalah yang sudah berkeluarga, lalu kemana suaminya? apa tidak bisa memberikan nafkah, sehingga para istri harus rela membanting tulang, banting dengkul, banting gigi.. dll. Khusus untuk para penghulu sebaiknya bapak sebelum menikahkan mereka harus menanyakan apakah laki-laki tersebut menikah dengan MOKONDO?
, sudah pada tahu kan artinya? MODAL KONyOL DOANG…
. Disamping itu para laki-laki sebelum menikah harus mempunyai pegangan hidup, karena percuma kalau cuma punya pegangan Konyol Doang..
Jika berniat untuk menikah tentu harus juga berniat menafkahkan istrinya, dan nafkah itu tidak harus selalu uang yang banyak, dengan penghasilan yang sedikit, suami juga bisa memberikan nafkah berupa perhatian dan kasih sayang kepada istrinya. Dengan seperti ini, istri lebih “betah” bekerja di rumah mengurus rumah tangga, dan tidak memotivasi mereka menjadi TKI yang ujung-ujungnya justru menyusahkan Negara.
Jika berbicara masalah tentu harus berbicara solusi, lalu solusinya bagaimana? Solusinya ialah memulangkan para TKI dari negara yang “tidak bersahabat” dan yang belum berangkat ke sana mohon diberikan keterampilan dahulu yang cukup, sehingga pembantu rumah tangga hanya sebagai “batu loncatan” untuk menggapai pekerjaan yang lebih baik di negeri orang. Jikapun harus menjadi pembantu rumah tangga, jadilah pembantu yang profesional, karena segala sesuatu yang profesional pasti tinggi nilainya dan dicari-cari orang.
Jadi kesimpulannya, masalah TKI bukan pada Arabnya, tetapi pada tingkat “Kewarasan” dari pihak Indonesia yang masih saja nekat mengirimkan mereka untuk berjuang disana, akhirnya TKI menjadi Tenaga Kerja Innalillahi.
Tulisan ini untuk mereka yang tidak disebutkan namanya, mereka yang tidak terhitung jumlah pastinya dan untuk mereka yang kadang tertindas dan kurang mendapat perhatian dari Pemerintah. Pun begitu status mereka lebih tinggi dibandingkan dengan para Koruptor di Negeri ini. Semoga Allah terus memberikan mereka kekuatan Lahir dan Bathin.